LUKI AULIA
Joni Prasetyo, siswa kelas XII program keahlian kriya kayu di SMK Negeri 2 Jepara, Jawa Tengah, sedang menyelesaikan ukiran kayu relief relung. Relief motif flora satu per satu ditatahnya dengan palu kayu dan 30 alat tatah aneka ukuran miliknya.
Bahan kayu jati berukuran 109 cm x 68 cm itu bisa diselesaikannya dalam dua bulan dan dijual dengan harga Rp 2,5 juta-Rp 5 juta.
Tangan Joni terampil menggerakkan tiga jenis alat tatah secara bergantian membentuk daun-daun dalam relief yang termasuk motif ukir khas Jepara itu. Meski begitu kesalahan sesekali terjadi. Ujung daun atau bunga yang patah sudah biasa ia alami.
”Motif daun paling susah. Kalau ada yang patah, tinggal dilem. Tidak akan kelihatan kalau sudah di-finishing pakai melamin,” kata Joni.
Joni dan siswa kriya kayu lainnya sudah mulai belajar desain dan mengukir kayu sejak kelas X. Selain relief relung dan relief Ramayana (dijual dengan harga Rp 4,5 juta), berbagai produk kriya kayu telah dihasilkan, seperti papan nama, kaligrafi, asbak, nampan, dan mebel. Lama pengerjaan untuk satu produk kriya kayu bergantung pada ukuran bahan dan kerumitan motifnya. Kaligrafi, misalnya, hanya membutuhkan waktu kira-kira satu minggu. Adapun untuk satu set mebel yang terdiri dari satu meja dan empat kursi bisa selesai dalam satu semester.
Sebelum membuat sebuah produk, siswa dituntut bisa merancang desain hasil pengembangan dari motif desain standar yang telah diajarkan.
Motif dasar
Maskuri, guru kriya kayu SMKN 2 Jepara, menjelaskan, selain pengenalan peralatan dan bahan, perancangan desain juga ditekankan dengan memperkenalkan 10 motif ukir dasar khas Jepara dan tradisional klasik Jawa-Bali. ”Unsur desain ini dulu yang diperkuat pada siswa. Dengan bekal kemampuan desain, siswa akan lebih mudah mengembangkan desain suatu produk,” kata Maskuri.
Sejak kelas X itu pula, proses pembelajaran menekankan sisi kreativitas siswa. Selain teori- teori, siswa juga menjalani waktu praktik minimal 14 jam selama satu minggu di tiga bengkel kerja yang tersedia. Setelah mendapat teori, siswa harus langsung praktik membuat karya dengan pendampingan dari 13 guru. Jika karya itu dinilai bagus, siswa disarankan bisa langsung menjual karyanya sebagai bagian dari pendidikan kewirausahaan.
Memasuki semester tiga atau kelas XI, siswa belajar membuat lemari. ”Di akhir semester empat siswa sudah terampil membuat mebel lengkap,” kata Suyoto, guru kriya kayu.
Penekanan pada unsur desain ini dilakukan setelah melihat tingginya permintaan industri kerajinan kayu terhadap yang ahli pada desain. Untuk Jepara saja, kata Suyoto, kebutuhan terhadap tenaga kerja siap pakai khusus pada desain sangat tinggi. Hasilnya, sebagian besar lulusan sekolah ini terserap habis di industri kerajinan kayu. Hanya sekitar 30 persen lulusan yang memilih menjadi perajin dan pengusaha industri kerajinan kayu.
Sentra ukir
Di Jepara terdapat paling tidak 3.995 unit usaha di bidang kerajinan mebel dan patung ukir yang menyerap 52.443 tenaga kerja. Data dari pemerintah daerah Jepara menyebutkan, di Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, yang ditetapkan sebagai sentra patung dan ukir karena konon merupakan asal muasal ukir Jepara, terdapat 1.142 unit usaha mebel. Nilai produksi mebel dan patung ukir untuk desa itu saja per tahun mencapai Rp 3,5 miliar.
Selain memenuhi tugas praktik, siswa juga kerap membuat produk kriya kayu pesanan industri ke sekolah. Namun, tidak sebanyak seperti di era 1990- 2000-an ketika permintaan dari luar negeri masih tinggi, terutama dari Eropa dan Amerika Serikat.
”Meski industri kerajinan di Jepara masih eksis, tidak seperti dulu. Ini berimbas ke sekolah. Saat itu kami menerima siswa baru tiga kelas per tahun, sedangkan sekarang hanya dua kelas dengan 36 siswa per kelas,” kata Maskuri.
Kini sekolah lebih sering menerima pesanan dari dalam negeri dan sesekali negara-negara dari kawasan Asia, seperti China, Korea, dan Malaysia. Untuk pasar lokal dan nasional, bahan baku kayu jati lebih disukai. Sebaliknya, pasar internasional, seperti Eropa dan Amerika Serikat, lebih menyukai bahan kayu mahoni.
Terkait dengan ketersediaan bahan baku, untuk memenuhi kebutuhan praktik satu semester saja, dibutuhkan paling tidak lima kubik kayu, baik jati maupun mahoni. Kebutuhan terhadap bahan baku bisa lebih banyak jika siswa praktik membuat mebel.
Untung saja, kata Suyoto, bahan baku relatif mudah diperoleh karena Jepara secara keseluruhan memperoleh suplai bahan baku dari berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Seni dan kerajinan
Sekolah yang berlokasi di Jalan RMP Sosrokartono No 1 Jepara dan berada di atas lahan seluas 44.214 meter persegi ini dahulu dikenal dengan nama STM Dekorasi Ukir.
Sekolah yang dibangun sejak 25 Mei 1979 ini merupakan lembaga pendidikan khusus SMK berbasis seni dan kerajinan dengan enam program keahlian, yakni kriya kayu, kriya tekstil, kriya keramik, kriya logam, tata busana/busana batik, dan animasi.
Posisi sekolah ini menjadi penting karena berakar dari kebutuhan untuk mengembangkan talenta masyarakat dan kearifan lokal Jepara yang mengantarnya menjadi sentra industri kerajinan ukir kayu.
Kepala SMKN 2 Jepara Sudarto memaparkan, sejak kelahirannya, sekolah telah ikut andil menemukan, menumbuhkan, dan mengembangkan talenta masyarakat Jepara.
Sejak pendidikan sistem ganda dengan konsep link and match dicanangkan tahun 1994, sekolah telah bermitra dengan industri mebel dan mendorong tumbuhnya desain-desain baru.
Alumni sekolah ini turut berpengaruh meningkatkan ekspor mebel Jepara antara lain dengan mengembangkan desain-desain baru. Memasuki era global, sekolah ditantang menyiapkan lulusan yang lebih berkualitas sesuai tuntutan industri, baik nasional maupun internasional, agar tidak kalah bersaing dengan negara lain.
Malaysia saja pada tahun 1970-1980-an pernah berguru seni ukir ke sekolah ini. Bukan hanya menerima siswa Malaysia, guru-guru sekolah ini juga kerap diundang untuk mengajar di Malaysia dalam kerangka kerja sama akademik dan pelatihan.
Pengakuan nasional dan internasional diperoleh sekolah karena serangkaian prestasi yang pernah diraih. Bukan hanya oleh kriya kayu, melainkan juga program keahlian lain, seperti kriya keramik, kriya logam, dan animasi yang baru dibuka dua tahun lalu (program keahlian termuda).
Comments[ 0 ]
Posting Komentar